And She Left Us

May 16, 2011 § 22 Comments

Tittle : And She Left Us

Author : MIVP

Type : Straight

A/N : Kalau ada yang nggak ngeh, ini terinspirasi dari video di SWC pas sebelum SHINee nyanyi Quasimodo ama Life. komen yaaaa~

And She Left Us

Lee Jinki POV

Aish. Sial. Benar-benar sial aku malam ini hujan. Padahal aku berniat untuk pergi ke rumahnya malam ini. Aku… ingin menyatakan perasaanku padanya. Secepatnya. Bukannya aku tidak percaya kepada yang lain, tetapi aku merasa, mereka juga menyukai dia. Setiap aku mengajaknya ke dorm kami, Jonghyun pasti bernyanyi lagu-lagu ballad dengan sangat indah. Sifat manja Taemin hilang mendadak. Minho mengeluarkan tatapan mautnya. Key memasak begitu banyak masakan yang entah aku tak tahu namanya. Bukannya aku tidak percaya kepada yang lain, tetapi aku hanya ingin dihargai. Kan aku yang kenal pada dia lebih dulu, aku yang suka lebih dulu, dan aku hyung mereka. Iya kan?

Tapi tetap saja aku takut mereka akan merebutnya dariku. Oleh karena itu, aku harus segera menyatakan perasaanku. Aku harus segera membuatnya menjadi milikku.

Bukan milik Jonghyun.

Bukan milik Key.

Bukan milik Minho.

Juga bukan milik Taemin.

Kim Jonghyun POV

Entah apa yang membawaku berada di sini sekarang. Tebak aku ada di mana. Di toko perhiasan. Mencari sebuah cincin. Untuk kuberikan pada seorang wanita. Wanita… yang Onew-hyung suka. Wanita… yang aku suka.

Memang aku terlihat seperti seorang lelaki tak tahu diri berusaha merebut wanita yang hyung-ku sendiri suka. Tapi, aku menyukainya. Itu yang penting. Lagipula, mereka belum resmi berkencan bukan? Orang bilang, selama mereka belum bersama, yang lain berhak memilikinya.

Oke, kau bisa bilang aku patetik. Aku bahkan lebih sering bernyanyi di depannya yang sangat jarang aku lihat dibandingkan dengan seluruh jam kerjaku untuk bernyanyi digabung jadi satu. Sekali lagi, kau bisa bilang aku patetik. Kau tahu Juliette? Aku menulis lagu itu untuknya. Patetik?

Ah, hujan. Aku harus segera mendapatkan cincin yang bisa mencuri hatinya dan membuatnya menjadi milikku, bukan Onew-hyung. Dialah Juliette-ku.

Kim Kibum POV

Key pabo ya! Harusnya aku bawa payung malam ini! Hujan deras sekali dan aku belum sampai rumahnya. Padahal, untuk pergi diam-diam itu sangat sulit. Apalagi, untuk ke rumahnya. Jangan sampai Onew-hyung tahu kalau aku kabur dari dorm untuk pergi menemui gadis yang dia sukai. Bisa mati aku! Tapi, aku akan lebih mati lagi kalau ia tahu aku pergi menemuinya untuk menyatakan perasaanku padanya. Dan bisa lebih mati lagi aku kalau aku membuatnya menjadi milikku.

Aku tahu aku tak seharusnya melakukan hal ini. Ya, aku tahu dia milik Onew-hyung. Eh, tunggu. Onew-hyung belum menyatakan perasaannya pada dia, dan mereka tidak berkencan. Aku tidak salah melakukan ini. Aku tidak salah jika aku berniat untuk menyatakan perasaanku padanya.

Sebaiknya aku berteduh sebentar di toko bunga itu. Mungkin membeli seikat bunga akan keren.

Choi Minho POV

Terkadang aku sangat mengagumi betapa pintarnya diriku. Pergi saat membuang sampah dari dorm dan tidak lupa membawa payung di saat hujan lebat seperti ini, pintar sekali bukan?

Aku tidak suka kalah. Kau tahu itu. Aku hanya mau kemenangan memihak padaku. Walau itu berarti aku harus merebut gadis Onew-hyung darinya agar aku menang, agar aku memenangkan hati gadis itu. Dan juga, ia belum benar-benar jadi gadis Onew-hyung kan? Kalau ternyata ia lebih menyukaiku, aku juga tak bisa disalahkan. Bukan begitu?

Jalan tidak bisa dibilang sepi saat hujan seperti ini. Ditambah lagi aku berjalan kaki. Aku harus mempercepat langkahku dan menemuinya. Menyatakan perasaanku dan membuatnya menjadi milikku. Baru aku bisa berkata akulah pemenangnya.

Dan aku tidak akan kalah.

Lee Taemin POV

Saat ini hanya tinggal aku dan Onew-hyung di dorm. Hyung sedang bersiap-siap untuk pergi. Kemana? Apakah ke rumah noona itu? Semoga bukan. Kalau iya, habis aku. Karena selepas ia pergi, aku berencana untuk menemui noona dan menyatakan perasaanku padanya, bahwa aku menyukainya.

Onew-hyung pasti tak pernah mau punya magnae seperti aku. Magnae yang jatuh hati pada wanita tempat ia meletakkan hatinya. Aku berani bertaruh Kyuhyun-hyung yang evil itu tidak pernah sedetik pun berniat seperti aku. Aku tahu aku magnae terburuk di seluruh dunia.

Tapi… aku menyukai noona.

Bisakah aku memilikinya?

Bisakah aku membuat ia jatuh padaku seperti ia membuat aku jatuh padanya?

***

Key berlari melawan hujan dengan seikat mawar merah di dalam genggaman tangan kanannya. Walau membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum akhirnya ia memutuskan membeli mawar merah ditambah berteduh, langit masih belum berhenti menangis. Takut yang dicari malam ini sudah terlelap, Key akhirnya memutuskan persetan dengan hujan.

“Aaaah, jjinja! Benar-benar hujan ini. Harusnya aku bawa payung. Tch!” Umpat lelaki itu dalam larinya. Meski begitu, ia agak bersyukur bunga yang dibelinya tampak lebih indah dihiasi bulir-bulir air hujan.

Sesekali Key menepi ke pinggir jalan, berlindung di bawah atap pertokoan yang tidak seberapa, hanya agar hujan tidak benar-benar membuatnya basah—walau sebenernya ia sudah sangat basah. Sesekali juga, saat berteduh, ia membenarkan susunan bunga mawar dalam ikatannya, meski nyatanya, ia hanya memutar-mutar susunan bunga-bunga itu kembali ke tempatnya semula.

Rapper yang jago bahasa Inggris itu menghentikan langkahnya. “Ah, aku belum memberitahunya aku akan menemuinya. Apa aku telpon saja ya?”

Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor yang ingin ia temui malam ini—hacil curian dari ponsel Onew—dan langsung memencet tombol berwarna hijau. Hanya beberapa detik sejak si lelaki menempelkan ponsel pada telinganya, di ujung sana sudah ada yang menjawab.

***

Taemin keluar dari dorm tepat lima menit setelah Onew meninggalkan tempat mereka tinggal. Tak lupa lelaki muda itu mengunci pintu sebelum akhirnya turun ke jalan.

Hujan membasahi rambut coklat bocah itu yang seperti jamur. Taemin mengadahkan kepalanya menatap langit, menutup kedua matanya, membiarkan air hujan menetes di atas wajahnya. “Hey langit, kira-kira bagaimana aku mengatakannya pada noona ya? Ada saran? Kalau berbicara langsung, aku tidak berani… Ah! Pakai kartu. Seperti di film-film, pakai kartu!” Taemin tersenyum sambil menjentikkan jarinya.

Si bocah yang tidak membawa payung itu kini melanjutkan langkahnya menuju sebuah taman, sehabis membeli sebuah kartu di toko hadiah di pinggir jalan. Kini ia tinggal menuliskan kata itu, sepatah kata yang ia pendam sejak entah kapan. Menemukan sebuah bangku kosong di pinggir taman, ia pun duduk.

“Aku beritahu noona dulu saja deh kalau aku akan ke sana,” ujar Taemin pada dirinya sendiri.

Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor yang ingin ia temui malam ini—hacil curian dari ponsel Onew—dan langsung memencet tombol berwarna hijau. Hanya beberapa detik sejak si lelaki menempelkan ponsel pada telinganya, di ujung sana sudah ada yang menjawab.

***

Jonghyun memasuki mobil yang ia bawa. Akhirnya, setelah beberapa jam memilih cincin sepulang solo performance tadi, ia meninggalkan toko perhiasan itu. Ia pun segera menyalakan mesin mobil dan menerobos hujan yang semakin deras.

Macet. Wajar saja, di tengah cuaca yang seperti ini. Orang-orang pasti ingin segera berada di rumah, bukan di tengah jalan yang dingin dan basah. Begitu pula dengan Jonghyun, namun ia rela demi Juliette-nya, demi seseorang yang akan ia temui malam ini.

Sambil menunggu mobil di depannya maju, Jonghyun memainkan cincin yang tadi ia beli, sesekali menatapnya, mengagumi keindahan benda mungil di tangannya. Tak sabar lelaki itu untuk memberikan cincin tersebut saat menyatakan kata hatinya.

Sebenarnya, ia tidak tahu apakah cincin itu akan cocok di jemari orang yang akan dituju. Tadi, ia hanya mengira-ngira sambil mengingat ukuran jemari yang dituju saat ia menggenggam tangannya mengajarkan bagaimana menghasilkan melodi yang indah dengan sebuah gitar.

Tiba-tiba Jonghyun teringat sesuatu. “Ah, aku belum memberitahunya aku akan kesana.”

Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor yang ingin ia temui malam ini—hacil curian dari ponsel Onew—dan langsung memencet tombol berwarna hijau. Hanya beberapa detik sejak si lelaki menempelkan ponsel pada telinganya, di ujung sana sudah ada yang menjawab.

***

Minho memegang erat payung hitamnya, menggeser posisi payung ke depannya atau ke belakangnya, berusaha agar hujan yang semakin deras tidak membasahi pakaiannya. Ia harus tampil sempurna malam ini. Harus. Demi dia.

Lelaki jangkung itu tersenyum sepanjang ia melangkah. Tak sedetikpun senyum manis itu menghilang. Sesekali ia bernyanyi beberapa lagu—versi rap tentu saja. Percaya diri memenuhi relung hatinya, entah apa yang membuatnya.

“Oh, aku tidak membawa apa-apa. Ah sudahlah. Aku sendiri sudah cukup kok.” Main rapper itu bergumam.

Kali ini langkah Minho tidak terlalu cepat, berbanding terbalik dengan kakinya yang jenjang. Namun, banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan malam ini membuatnya lebih waswas. Ia tak mungkin menabrak seseorang dan tiba-tiba diserbu fans, bukan? Kalau sepi dan langit tidak menangis, ia mungkin sudah sampai di tempat yang dituju.

“Aku belum meneleponnya. Aku kan harus memberitahu dia aku akan menemuinya.”

Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor yang ingin ia temui malam ini—hacil curian dari ponsel Onew—dan langsung memencet tombol berwarna hijau. Hanya beberapa detik sejak si lelaki menempelkan ponsel pada telinganya, di ujung sana sudah ada yang menjawab.

***

Onew menggosok-gosokkan kedua tangannya, mencoba agar tangannya tetap hangat. Ia mengutuki dirinya sendiri karena lupa membawa payung. Bisa-bisanya ia berdandan sangat rapi malam ini tetapi rela semuanya habis dimakan hujan. Terkadang Onew pun tidak mengerti jalan pikirannya sendiri.

Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor yang ingin ia temui malam ini. Senyum mengembang di wajahnya, membuat ia yang basah tetap terlihat menawan.

Mendadak layar ponsel sang leader berubah jadi hitam. Ponselnya mati. Onew mendecak, kembali mengutuki betapa bodoh dirinya. Bisa-bisanya ia meninggalkan rumah dengan ponsel yang sudah hampir mati. Kembali ia memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Senyumnya menghilang, berubah menjadi makian-makian kecil pada dirinya sendiri.

Si lelaki dengan suara menenangkan itu menoleh kanan dan kiri, mencari telepon umum. Melihat satu di sudut jalan, ia segera berlari dan memasukinya.

Di dalam bilik telepon umum, Onew menepuk-nepukkan pakaiannya yang basah dan mencoba menata kembali rambutnya. Puas dengan hasilnya, ia meraih gagang telepon, memencet tuts-tuts angka berirama dengan nomor yang memang sudah sangat ia hapal.

Hanya beberapa detik sejak si lelaki menempelkan ponsel pada telinganya, di ujung sana sudah ada yang menjawab.

“Yeobeoseyo.”

Bukan. Onew mengerutkan dahinya. Ini bukan suara orang itu. Bukan suara yang ingin ia temui malam ini.

“Kau pasti temannya.”

Suara ini berat. Suara wanita ini berat seperti habis menangis. Suara wanita ini… penuh kesedihan.

“Tadi sore, saat pulang dari kantornya, sewaktu ia menyebrang jalan, asmanya kambuh. Ia tidak membawa inhaler. Orang-orang menemukannya pingsan di tengah jalan lalu menghubungi kami lewat ponselnya. Meski sudah dibawa ke rumah sakit secepat yang kami bisa, nyawanya… tidak bisa diselamatkan. Tubuhnya sudah sangat kekurangan oksigen sesampainya kami di rumah sakit.”

“M—Mwo?” Lelaki dalam bilik telepon umum itu terkejut. Sangat. Bagaikan seluruh isi perutnya hilang. Bagaikan seluruh isi bumi ini musnah dan tinggal ia. Ia… kosong. Hampa. Seketika.

“Kami harap kau mau menghadiri pemakamannya esok pagi.”

Onew merasa tak lagi punya sepasang kaki. Ia membiarkan tubuhnya jatuh terduduk begitu saja. Begitu pun dengan gagang telepon yang tadi ia pegang, dibiarkannya jatuh tanpa kembali ke tempatnya.

Ia menangis. Ia tahu ia menangis. Tak bisa lagi ia tahan.

Dan teriakannya yang memilukan hati memecah malam, bahkan mengalahkan kerasnya suara hujan yang menampar jalan.

***

Reflek, Minho memencet tombol berwarna merah dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam sakunya. Ia bergeming, mencoba mencerna kata demi kata penerima telepon tadi.

Seluruh tubuhnya terasa lemas, sama sekali tak bertenaga. Sudah tak peduli lagi ia dengan penampilannya. Payung dalam genggamannya terlepas karena memang ia sudah tak mau lagi memegangnya.

Ah, tidak. Minho masih peduli dengan penampilannya. Ia tak mau orang melihat dirinya menangis. Harga dirinya masih terlalu tinggi untuk itu. Ia membiarkan hujan membasahinya untuk menutupi tangis yang mengalir di pipinya.

Senyumnya sudah pergi entah kemana.

***

Tanpa mematikan sambungan terlebih dahulu, Jonghyun melempar ponselnya ke bangku penumpang di sebelahnya. Otaknya terus mengulangi kalimat yang ia dengar sebelumnya, membuatnya sulit bernapas.

Pandangan Jonghyun beralih pada benda kecil putih keperakan yang sedari tadi berada di tangan kirinya. Kini, harus ia berikan pada siapa cincin itu?

Lelaki itu menurunkan jendela mobil, membiarkan wajahnya terkena terpaan hujan. Beberapa detik setelahnya, tepaat sesudah ia menghebuskan napas yang terasa sangat sesak dari dalam dadanya, ia menjatuhkan cincin mungil yang baru lima menit menjadi miliknya ke kubangan air hujan di jalan.

Jonghyun menangis. Tidak bisa dipungkiri itu. Ia memang selalu menangis.

***

Mata indah Taemin langsung membasah setelah ia memutuskan teleponnya. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang ia dengar.

Bocah itu menatap sebuah kartu yang baru saja ia tulis dengan sebuah kata dari hatinya dengan tatapan nanar. Ia takkan pernah memberi kartu itu. Kata hatinya takkan pernah sampai pada orang itu.

Taemin menutup kartu itu dan membiarkannya terbang terbawa angin dan hancur ditelan derasnya hujan. Begitu juga dengan wajah cerianya, hilang ditelan air yang mengalir dari matanya.

Tuhan terlalu tega membiarkan bocah semuda itu mengalami sakit yang sedalam itu.

***

Entah di mana ponsel Key sekarang. Sesudah mengakhiri sambungan telepon, ia langsung melempar ponselnya, berharap semua yang ia dengar adalah bohong. Berharap semua yang ia dengar tidak benar-benar terjadi.

Seikat mawar yang ia beli tadi juga telah dijatuhkannya. Untuk Key, bunga itu sudah tak lagi indah. Tak berarti lagi ia memegangnya lama-lama.

Setetes air mata yang mengalir di pipi lelaki itu terasa lebih menusuk dibandingkan dengan beribu-ribu tetes derasnya air hujan yang menerpa wajahnya. Ia menyenderkan tubuhnya pada tiang lampu di pinggir jalan, menahannya supaya tidak jatuh.

Key menatap langit dan memaki kepada dunia.

***

Lee Taemin POV

Seharusnya aku memang tidak menyukai noona. Aku tidak boleh menyukai noona. Aku memang magnae terburuk di dunia. Aku berniat mengambilnya dari Onew-hyung. Aku memang jahat.

Mungkin Tuhan menghukumku karena tahu niat jahatku. Pasti karena itu. Tapi, itu berarti… Onew-hyung di suatu tempat juga sedang menangis. Ya Tuhan, maafkan aku.

Seandainya aku tidak menyukai noona, pasti ia takkan tiada. Ini semua memang salahku.

Inikah karma?

Choi Minho POV

Tch. Tak kusangka aku akan menangis malam ini. Tak kusangka aku takkan memenangkan hatinya. Tak kusangka aku kalah. Aku benci kalah. Karena itu aku menangis.

Oke, aku menangis karena ia pergi. Kenapa ia harus pergi? Apakah karena memang seharusnya ia menjadi milik Onew-hyung, dan bukan milikku? Begitu?

Ah, tidak. Aku memang tidak menang. Onew-hyung juga tidak menang.

Tuhan lah yang menang. Ia menjadi milik Tuhan sekarang.

Aku kalah oleh Tuhan.

Kim Kibum POV

Ya, aku takkan mati. Aku takkan mati karena Onew-hyung takkan tahu kalau aku berniat menyatakan perasaanku pada gadisnya. Meski aku sangat ingin menyatakan perasaanku, aku tak bisa.

Ia… sudah pergi. Untuk selamanya.

Ia yang mati.

Aku memang salah melakukan ini. Memang harusnya aku tak berniat untuk menyatakan perasaanku padanya. Harusnya aku memikirkan perasaan Onew-hyung.

Dan mungkin kejadiannya tidak seperti ini.

Kim Jonghyun POV

Aku jatuh cinta pada gadis yang disukai hyung-ku sendiri. Aku berniat memberikannya cincin seolah aku akan melamarnya. Aku berniat membuatnya menjadi milikku. Aku berniat merebutnya dari hyung-ku sendiri.

Tapi ia mati.

Mungkin ia tidak mau menjadi kekasih seseorang seperti aku. Aku takkan pernah menjadi seorang Romeo. Sekali lagi, kau bisa bilang aku sangatlah patetik.

Hidupku memang menyedihkan.

Adakah kisah yang lebih menyedihkan dari hidupku?

Lee Jinki POV

Sebegitu tak adilnya kah dunia padaku?

Aku menyukai gadis yang disukai semua dongsaeng-ku.

Bahkan mereka berniat mengambilnya dariku.

Sebegitu tak adilnya kah dunia padaku?

Saat aku akan mengungkapkan perasaanku padanya, saat aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya, Tuhan mengambilnya.

Sebegitu tak adilnya kah dunia padaku?

Sebegitu tak inginnya kah dunia kalau ia menjadi milikku?

Sebegitu jeleknya kah aku di mata dunia sampai-sampai ia tak diperbolehkan berada di sisiku?

Atau memang seharusnya ia bersama Jonghyun?

Atau Key?

Atau Minho?

Atau malah Taemin?

Tagged: , ,

§ 22 Responses to And She Left Us

Leave a reply to Raisa Widiastari Cancel reply

What’s this?

You are currently reading And She Left Us at |KPOP FANFIC INDO|.

meta